Kamis, 04 Juni 2020

Opini 7: Ungkapan Cinta setelah membaca buku Sistem Pendidikan Finlandia

Gambar buku Sistem Pendidikan Finlandia by Ratih D. A

Sebelum mengulas buku ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Dialektika bookshop atas kebaikan hatinya memberikan discount terhadap buku ini. Jadi sebelumnya buku yang saya order adalah Outliers tapi setelah proses pembayaran selesai ternyata Outliers kosong, maka saya disarankan untuk mengganti dengan harga yang sama. Lalu ketemulah saya dengan buku ini pada postingan beberapa bulan lalu, walaupun harga buku ini lebih mahal dikit.  Mungkin inilah definisi jodoh hehe. Sejak kuliah S1 kemarin saya semakin penasaran dengan Pendidikan Finlandia.  Konon katanya memiliki output atau melahirkan anak-anak yang memperoleh skor PISA tertinggi bahkan awal-awal tes PISA menduduki peringkat atas walaupun beberapa tahun belakang ini hanya menduduki 10 besar.

Jadi apa yang membuat buku ini menarik dan membuat saya merasa beruntung memilih buku ini?  sebelumnya Terimakasih kepada penulis Kece mba Ratih D. Adiputri. saya seperti merasan sedang ada di Finlandia saat baca buku ini. Semoga segera saya juga bisa ke Finland bertemu dengan guru-guru keren. so, Lets we are talking much about this book.

Pada awal-awal buku ini menggambarkan secara garis besar Pendidikan Finlandia yang dialami sendiri oleh penulis dan latar belakang penulis mengapa bisa menyekolohkan anaknya di sekolah Finlandia.

Budaya negara mungil ini memberikan perubahan pola pikir tentang Pendidikan pada penulis. Diawal-awal buku ini memparkan atas kenyamanan perpustakaan yang tersedia di sekitar tempat tinggalnya. Perpustakaan menjadi tempat melakukakan banyak kegiatan, terbuka untuk umum, semua orang dapat meminjam buku sebanyak mungkin selama memilki alamat rumah. Perpustakaan bukan tempat kaku yang sering kita jumpai di Indonesia sehingga tak heran jika minat baca dari anak-anak hingga orangt tua tinggi. Karena perpustakaan juga menyediakan banyak sumber bacaan.

Finlandia tidak mengenal ujian semester ataupun ulangan harian seperti yang kita kenal yang sangat bershabat dengan anak sekolahan bahkan anak kuliahan hehehe. Sejak sekolah dasar anak-anak hanya dinilai berdasarkan tingkah laku bukan berdasrkan tes kognitif. Saat membaca bab awal ini saya merasa sebenrnya kurikulum indonsia sudah dirancang sedemikian rupa bahakan sejak kurikulum KTSP sebenrnya penilaian di Rapor memiliki 3 aspek penilaian yaitu (1) kognitif atau pengetahuan yang anak-anak peroleh dari menyelesaikan soal-soal ujian ataupun Latihan di dalam kelas. Penilaian kognitif inilah yang dinilai dan memiliki banyak sekali instrument untuk mengukur. Kemudian penilain selanjutnya adalah Afektif dan Psikomotorik. Kedua aspek inilah sebenarnya yang belum terukur dengan baik bahkan saat saya sekolah dulu saya sering bertanya angka-angka di rapor saya ini dinilai dengan cara seperti apa ya? Apakah psikomotorik dan afektif mengikut dengan nilai kognitif?

Well, Finlandia melakukan hal yang sebaliknya, rapor yang diterima oleh anak-anak saat sekolah dasar berupa laporan secara afektif dan psikomotorik. Hal ini memang sangat mungkin dilakukan karena perbandingan jumlah siswa dan guru tidak terlalu banyak. 1 guru hanya menangani sekitar 16 orang siswa sedangkan di Indonesia sangat banyak bahkan di SMA yang padat penduduk jumlah siswanya bisa mencapai hampir 40 orang.

Solusinya sih menurutku kurikulum dikembalikan ke sekolah masing-masing atau setidaknya kabupaten masing-masing. Mengapa demikian ? karena setiap tempat dari Sabang sampai Merauke memiliki kultur dan kondisi alam yang relative berbeda. Ada beberapa tempat yang notabene masyarakatnya ataupun orangtua anak-anak bekerja sebagai petani di kebun ataupun sawah, melaut, pekerja kantoran. Pendidikan alangkah baiknya belajar dari lingkungan terdekat agar bisa relate dengan apa yang sedang dipelajari. Misalnya saja soal fisika membahas tentang rel kereta api sedangkan beberapa tempat di Indonesia di Sulawesi atau Kalimantan misalnya melihat kereta api saja harus dilihat dari gambar. Saya juga teringat saat menjadi asisten praktikum di laboratorium Fisika, seorang praktikan bertanya “kak apa gunanya saya belajar X, apa gunanya saya belajar ini? Nanti kalau pulangka’ di kampungku saya mau manfaatkan yang kupelajari di sini” saya tidak terlalu mengingat dengan jelas apa jawaban spontanku Ketika itu. Intinya adalah jawaban yang kulontarkan menjadi alasan adik tingkatku itu untuk cuti satu semester pada semester berikutnya. Sebuah pertanyaan yang memang sulit untuk kuungkapkan karena jujur saja saya mengenal Fisika dengan persamaan matematisnya, bukan dengan penerapannya.

Saya Kuliah mengambil jurusan Fisika, kenapa memilih fisika mungkin juga karena (dulu) menyukai hal-hal matematis. Tapi tidak terlalu mahir untuk menerjemahkan matematis makanya tidak pernah berniat ikut olimpiadi sejak kuliah. Menurutku ada hal baiknya juga sih sistem Pendidikan Indonesia seperti saat ini dibandingkan Finlandia, mengapa? Karena Kita (Indonesia) mengkaji materi dengan lebih dalam walau banyak materi atau jenis pelajaran yang harus dikuasai secara bersamaan, dan menurutku hal inilah yang menjadi penyebab anak-anak indonseia bisa meraih medali emas pada olimpiade-olimpiade math and science tingkat dunia.

Pencapaian Pendidikan Indonesia tidak bisa secara langsung bisa berubah drastis seperti Finlandia lakukan karena perbedaan-perbedaan tadi. Perbedaan mendasar lainnya adalah tenaga pengajar yang tentunya perekrutannya berbeda. Guru Finlandia harus bergelar Master yang ditempuh kurang lebih 5 tahun (sarjana 3 tahun + Master 2 tahun). Sedangkan di Indonesia bahkan bisa mengajar asalkan sukarela. Sangat miris sih dengan gaji honorer yang kadangkala sangat dibawah UMR. Seorang teman menjadi Guru Honorer memiliki gaji 500k perbulan. Jadi bagaimana tidak seorang sarjana Pendidikan beralih pekerjaan ke pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan. Jika di Finlandia seseorang tidak bisa bekerja jika tidak ada sertifikat sesuai dengan pekerjaan. Saat ini masih banyak pekerjaan yang menerima semua jurusan.

ulasan singkat buku ini dapat diakses di bincang_id

Buku ini sangat sering menyebutkan basic dari keteraturan di Finlandia dimulai di sekolah dasar, misalnya sejak anak-anak sudah didik untuk menggunakan peralatan sekolah sesuai kebutuhan, makan makanan di sekolah sesuai kebutuhan karena baik makanan maupun kebutuhan sekolah lainnya disediakan di sekolah. Penulis mengungkapakan ia menemukan sekolah gratis berkualitas di Finlandia. Sehingga hal ini menyebabkan angka korupsi rendah. Selain itu, waktu belajar anak-anak Finlandia singkat setiap selesai jam pelajaran anak-anak harus keluar ruangan untuk berinterksi satu sama lain hal ini memicu sistem motoric untuk selalu bergerak. Sangat berbeda di Indonesia dulu saat saya di SMA (2010-2013) kebetulan sekolah saya menggunakan sistem moving class artinya setiap pergantian jam pelajaran kita berpindah ruangan, mungkin (dulu) kepala sekolahku pernah membaca lietaratur sekolah di Finlandia heheh. But it works sih, konsentrasi bisa nambah setelah berpindah. Saya baru menyadari hal demikian setelah membaca buku ini. Salah satu dosen saya mengajar hanya 15-20 menit kemudian selesai, dan semua yang disampaikan masuk, I mean nggak ada yang sia-sia selama 15-20 menit itu. Semua mahasiswa fokus. Dosen saya ini percaya bahwa materi pelajaran bisa masuk hanya pada menit-menit awal, jika dipaksakan hanya akan membuat otak jenuh.

Sebelum Covid ini saya sangat miris sih melihat anak-anak SMA bahkan sekolah dasar yang harus Full-day dari senin-jumat. Bahkan sabtu kadang-kala masih harus ke sekolah untuk mengikuti extrakurikuler. Bahkan di kota-kota besar sehabis sekolah anak-anak masih mengikuti kegiatan bimbel baik secara langsung dengan mendatangi tempat bimbel ataupun memanggil guru privat untuk datang ke rumahnya. Saya dulu pernah menjadi turot privat kadang merasa sedih melihat anak-anak yang harus belajar lagi saat malam hari sampai pukul 9 atau 10 malam. Saat ini saya masih menjadi tutor online dan tak jarang saya mendapat DM dari anak-anak untuk terlambat karena alasan masih di jalan atau besok mau ulangan kimia jadi mala mini skip dulu belajar Fisikanya.

Well bebrapa kasus tersebut untuk anak-anak yang memiliki semangat tinggi untuk belajar, menyukai matematis, kebetulan mendapatkan guru yang memiliki cara mengajar yang bagus. But well apa kabar untuk anak-anak yang merasa tertinggal? Yang lemah untuk perhitungan matematis tapi sangat mahir pada bakat lain. Penghargaan masih diberikan pada anak-anak yang memiliki kognitif tinggi sehingga sangat sering menjumpai berbuat curang saat mengikuti ujian maka jangan heran kalau Korupsi juga semakin banyak karena sejak di bangku kuliah sudah melakukan korupsi dengan menyontek.

Sepertinya celotehanku sudah cukup Panjang, saya akan bercerita lagi di lain waktu :D semoga bermanfaat kalau ceritaku relate dengan salah satu kisahmu yuk dituliskan di kolom komentar. 

Salam hangat dari saya, semoga badai Covid ini segera berlalu. 

 

 






Juni 04, 2020 / by / 3 Comments

3 komentar:

give me your response