Gambar buku Sistem Pendidikan Finlandia by Ratih D. A |
Sebelum mengulas buku ini saya ingin mengucapkan terimakasih
kepada Dialektika bookshop atas kebaikan hatinya memberikan discount terhadap buku
ini. Jadi sebelumnya buku yang saya order adalah Outliers tapi setelah proses
pembayaran selesai ternyata Outliers kosong, maka saya disarankan untuk
mengganti dengan harga yang sama. Lalu ketemulah saya dengan buku ini pada
postingan beberapa bulan lalu, walaupun harga buku ini lebih mahal dikit. Mungkin inilah definisi jodoh hehe. Sejak kuliah
S1 kemarin saya semakin penasaran dengan Pendidikan Finlandia. Konon katanya
memiliki output atau melahirkan anak-anak yang memperoleh skor PISA tertinggi
bahkan awal-awal tes PISA menduduki peringkat atas walaupun beberapa tahun
belakang ini hanya menduduki 10 besar.
Jadi apa yang membuat buku ini menarik dan membuat saya merasa beruntung memilih buku ini? sebelumnya Terimakasih kepada penulis Kece mba Ratih D. Adiputri. saya seperti merasan sedang ada di Finlandia saat baca buku ini. Semoga segera saya juga bisa ke Finland bertemu dengan guru-guru keren. so, Lets we are talking much about this book.
Pada awal-awal buku ini menggambarkan secara garis besar Pendidikan
Finlandia yang dialami sendiri oleh penulis dan latar belakang penulis mengapa
bisa menyekolohkan anaknya di sekolah Finlandia.
Budaya negara mungil ini memberikan perubahan pola pikir
tentang Pendidikan pada penulis. Diawal-awal buku ini memparkan atas kenyamanan
perpustakaan yang tersedia di sekitar tempat tinggalnya. Perpustakaan menjadi
tempat melakukakan banyak kegiatan, terbuka untuk umum, semua orang dapat
meminjam buku sebanyak mungkin selama memilki alamat rumah. Perpustakaan bukan
tempat kaku yang sering kita jumpai di Indonesia sehingga tak heran jika minat
baca dari anak-anak hingga orangt tua tinggi. Karena perpustakaan juga
menyediakan banyak sumber bacaan.
Finlandia tidak mengenal ujian semester ataupun ulangan
harian seperti yang kita kenal yang sangat bershabat dengan anak sekolahan
bahkan anak kuliahan hehehe. Sejak sekolah dasar anak-anak hanya dinilai
berdasarkan tingkah laku bukan berdasrkan tes kognitif. Saat membaca bab awal
ini saya merasa sebenrnya kurikulum indonsia sudah dirancang sedemikian rupa
bahakan sejak kurikulum KTSP sebenrnya penilaian di Rapor memiliki 3 aspek
penilaian yaitu (1) kognitif atau pengetahuan yang anak-anak peroleh dari menyelesaikan
soal-soal ujian ataupun Latihan di dalam kelas. Penilaian kognitif inilah yang
dinilai dan memiliki banyak sekali instrument untuk mengukur. Kemudian penilain
selanjutnya adalah Afektif dan Psikomotorik. Kedua aspek inilah sebenarnya
yang belum terukur dengan baik bahkan saat saya sekolah dulu saya sering
bertanya angka-angka di rapor saya ini dinilai dengan cara seperti apa ya? Apakah
psikomotorik dan afektif mengikut dengan nilai kognitif?
Well, Finlandia melakukan hal yang sebaliknya, rapor yang
diterima oleh anak-anak saat sekolah dasar berupa laporan secara afektif dan psikomotorik.
Hal ini memang sangat mungkin dilakukan karena perbandingan jumlah siswa dan guru
tidak terlalu banyak. 1 guru hanya menangani sekitar 16 orang siswa sedangkan
di Indonesia sangat banyak bahkan di SMA yang padat penduduk jumlah siswanya
bisa mencapai hampir 40 orang.
Solusinya sih menurutku kurikulum dikembalikan ke sekolah
masing-masing atau setidaknya kabupaten masing-masing. Mengapa demikian ?
karena setiap tempat dari Sabang sampai Merauke memiliki kultur dan kondisi
alam yang relative berbeda. Ada beberapa tempat yang notabene masyarakatnya
ataupun orangtua anak-anak bekerja sebagai petani di kebun ataupun sawah,
melaut, pekerja kantoran. Pendidikan alangkah baiknya belajar dari lingkungan terdekat
agar bisa relate dengan apa yang sedang dipelajari. Misalnya saja soal fisika
membahas tentang rel kereta api sedangkan beberapa tempat di Indonesia di Sulawesi
atau Kalimantan misalnya melihat kereta api saja harus dilihat dari gambar. Saya
juga teringat saat menjadi asisten praktikum di laboratorium Fisika, seorang
praktikan bertanya “kak apa gunanya saya belajar X, apa gunanya saya belajar
ini? Nanti kalau pulangka’ di kampungku saya mau manfaatkan yang kupelajari di
sini” saya tidak terlalu mengingat dengan jelas apa jawaban spontanku Ketika itu.
Intinya adalah jawaban yang kulontarkan menjadi alasan adik tingkatku itu untuk
cuti satu semester pada semester berikutnya. Sebuah pertanyaan yang memang
sulit untuk kuungkapkan karena jujur saja saya mengenal Fisika dengan persamaan
matematisnya, bukan dengan penerapannya.
Saya Kuliah mengambil jurusan Fisika, kenapa memilih fisika
mungkin juga karena (dulu) menyukai hal-hal matematis. Tapi tidak terlalu mahir
untuk menerjemahkan matematis makanya tidak pernah berniat ikut olimpiadi sejak
kuliah. Menurutku ada hal baiknya juga sih sistem Pendidikan Indonesia seperti
saat ini dibandingkan Finlandia, mengapa? Karena Kita (Indonesia) mengkaji
materi dengan lebih dalam walau banyak materi atau jenis pelajaran yang harus
dikuasai secara bersamaan, dan menurutku hal inilah yang menjadi penyebab anak-anak
indonseia bisa meraih medali emas pada olimpiade-olimpiade math and science
tingkat dunia.
Pencapaian Pendidikan Indonesia tidak bisa secara langsung
bisa berubah drastis seperti Finlandia lakukan karena perbedaan-perbedaan tadi.
Perbedaan mendasar lainnya adalah tenaga pengajar yang tentunya perekrutannya
berbeda. Guru Finlandia harus bergelar Master yang ditempuh kurang lebih 5
tahun (sarjana 3 tahun + Master 2 tahun). Sedangkan di Indonesia bahkan bisa
mengajar asalkan sukarela. Sangat miris sih dengan gaji honorer yang kadangkala
sangat dibawah UMR. Seorang teman menjadi Guru Honorer memiliki gaji 500k
perbulan. Jadi bagaimana tidak seorang sarjana Pendidikan beralih pekerjaan ke
pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan. Jika di Finlandia seseorang tidak bisa
bekerja jika tidak ada sertifikat sesuai dengan pekerjaan. Saat ini masih
banyak pekerjaan yang menerima semua jurusan.
ulasan singkat buku ini dapat diakses di bincang_id |
Buku ini sangat sering menyebutkan basic dari keteraturan di
Finlandia dimulai di sekolah dasar, misalnya sejak anak-anak sudah didik untuk
menggunakan peralatan sekolah sesuai kebutuhan, makan makanan di sekolah sesuai
kebutuhan karena baik makanan maupun kebutuhan sekolah lainnya disediakan di
sekolah. Penulis mengungkapakan ia menemukan sekolah gratis berkualitas di
Finlandia. Sehingga hal ini menyebabkan angka korupsi rendah. Selain itu, waktu
belajar anak-anak Finlandia singkat setiap selesai jam pelajaran anak-anak
harus keluar ruangan untuk berinterksi satu sama lain hal ini memicu sistem motoric
untuk selalu bergerak. Sangat berbeda di Indonesia dulu saat saya di SMA (2010-2013)
kebetulan sekolah saya menggunakan sistem moving class artinya setiap pergantian
jam pelajaran kita berpindah ruangan, mungkin (dulu) kepala sekolahku pernah
membaca lietaratur sekolah di Finlandia heheh. But it works sih, konsentrasi
bisa nambah setelah berpindah. Saya baru menyadari hal demikian setelah membaca
buku ini. Salah satu dosen saya mengajar hanya 15-20 menit kemudian selesai,
dan semua yang disampaikan masuk, I mean nggak ada yang sia-sia selama 15-20
menit itu. Semua mahasiswa fokus. Dosen saya ini percaya bahwa materi pelajaran
bisa masuk hanya pada menit-menit awal, jika dipaksakan hanya akan membuat otak
jenuh.
Sebelum Covid ini saya sangat miris sih melihat anak-anak
SMA bahkan sekolah dasar yang harus Full-day dari senin-jumat. Bahkan sabtu
kadang-kala masih harus ke sekolah untuk mengikuti extrakurikuler. Bahkan di kota-kota
besar sehabis sekolah anak-anak masih mengikuti kegiatan bimbel baik secara
langsung dengan mendatangi tempat bimbel ataupun memanggil guru privat untuk
datang ke rumahnya. Saya dulu pernah menjadi turot privat kadang merasa sedih
melihat anak-anak yang harus belajar lagi saat malam hari sampai pukul 9 atau
10 malam. Saat ini saya masih menjadi tutor online dan tak jarang saya mendapat
DM dari anak-anak untuk terlambat karena alasan masih di jalan atau besok mau
ulangan kimia jadi mala mini skip dulu belajar Fisikanya.
Well bebrapa kasus tersebut untuk anak-anak yang memiliki
semangat tinggi untuk belajar, menyukai matematis, kebetulan mendapatkan guru
yang memiliki cara mengajar yang bagus. But well apa kabar untuk anak-anak yang
merasa tertinggal? Yang lemah untuk perhitungan matematis tapi sangat mahir
pada bakat lain. Penghargaan masih diberikan pada anak-anak yang memiliki
kognitif tinggi sehingga sangat sering menjumpai berbuat curang saat
mengikuti ujian maka jangan heran kalau Korupsi juga semakin banyak karena
sejak di bangku kuliah sudah melakukan korupsi dengan menyontek.
Sepertinya celotehanku sudah cukup Panjang, saya akan
bercerita lagi di lain waktu :D semoga bermanfaat kalau ceritaku relate dengan
salah satu kisahmu yuk dituliskan di kolom komentar.
Salam hangat dari saya, semoga badai Covid ini segera berlalu.
Jadi ingin hunting bukunya nih kak
BalasHapusiyya kak bagus banget bukunya :D
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus